MATERI 10 : Muamalat dalam Islam

A.   Pandangan Islam Tentang Kehidupan Dunia
Manusia dewasa ini telah berada di persimpangan jalan, antara agama dan kemajuan ilmu pengetahuan. Kebimbangan pun datang mengusik lamunan di malam hari, membangunkan dari mimpi-mimpi indahnya sepanjang malam. Manusia cenderung menilai realita kehidupan dunia yang tampak di depan mata tanpa menoleh fenomena kehidupan di masa lalu. Ada sebagian darinya yang tidak merujuk kepada perintah-perintah agama sebagai pedoman hidup di dunia. Padahal, sejarah peradaban manusia telah terukir dari beberapa peristiwa kebajikan dan kebathilan. Padahal, yang di cari manusia dalam kehidupan di dunia adalah kebahagiaan.
Terangkatnya posisi manusia sebagai khalifah di muka bumi merupakan suatu kemuliaan yang tinggi dari Allah swt. Alam dan seisinya juga dipersembahkan kepada manusia untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya tanpa harus membayar upeti kepada Allah. Anugerah yang tidak ternilai berupa akal seharusnya mampu menjadikan manusia sebagai sosok kekhalifahannya, mulia. Tetapi, mengapa manusia masih berambisi mencari kehidupan dunia sebagai sesuatu yang kekal? Dunia bukanlah semata-mata warisan untuk anak cucu manusia , tetapi sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Yang Maha Kuasa.
Syeikh Muhammad ‘Ali as Shobuni dalam kitabnya Shofwatu al Tafasir menuliskan bahwa Allah swt menciptakan langit dan bumi hanya dalam enam hari. Hal ini bukan menunjukkan bahwa Allah swt tidak mampu menciptakannya hanya dalam sekejap, namun Allah ingin mengajarkan kepada hamba-hamba Nya satu sifat yang tidak tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan. Dan masih ada beberapa firman Allah yang menjelaskan tentang penciptaan dunia, namun penulis dalam hal ini lebih termotivasi dalam membahas kehidupan dunia.
Sebuah realita tentang kehidupan dunia abad ini diterjemahkan sebagai kehidupan yang sementara, tempat untuk bersenang-senang, kehidupan modern, kehidupan yang abadi dan sebuah kehidupan yang fana. Di sisi lain kehidupan dunia dipandang sebagai jembatan menuju kehidupan setelah mati (akhirat), tempat mencari amal kebajikan, tempat menimba ilmu pengetahuan dan lain-lainya. Berangkat dari pemahaman di atas maka nyatalah kehidupan dunia yang fana ini hanyalah sebuah ujian bagaimana mengemban tugas-tugas kehidupan dan amanat kemanusiaan. Dengan demikian manusia akan merasa puas dan hidup tidak menjadi sia-sia tanpa melemahkan semangat berjuang dalam kehidupan.
Akhirnya, dapatlah digambarkan bahwa persepsi kehidupan dunia memiliki tujuan yang beragam, yaitu; kesenangan, kemegahan, kesehatan, kepintaran, kesuksesan, ketenteraman jiwa, ketenangan hidup dan kebahagiaan. Tidak cukup sampai disitu, manusia akan terus mempertanyakannya setelah mampu meraih segala apa yang diinginkannya atau sebaliknya, manusia akan terus mencari-cari jawaban dari sebuah pertanyaan yang membosankan.
Mengapa pertanyaan demi pertanyaan itu muncul seolah tidak merasa puas dengan kenyataan hidup, atau sebaliknya? Islam sebagai agama melalui kajian al qur’an dan hadits-hadits Rasulullah dapat menjawab pertanyaan demi pertanyaan tersebut dengan menanamkan kepercayaan terhadap Allah dan Rasulullah. Oleh karena itu jugalah penulis mencoba menghadirkan jawaban-jawaban yang bersumber dari nash-nash al Qur’an dan beberapa Hadits Nabi saw, sekaligus dapat memberikan keyakinan yang kuat dalam diri.
Jikalau manusia menjadikan kehidupan dunia sebagai bentuk yang mempesonakan terhadap kemewahan harta, kebanggaan memiliki anak-anak dan lainnya, atau sangat mencintai perabot kehidupan duniawi, sehingga lalai dan lupa akan sebuah hakikat, maka islam menjawabnya, bahwa semua bentuk kesenangan dunia tersebut bersifat temporer, sebuah sandiwara, permainan dan kesenangan sesaat. Maka, untuk apa terlalu mengejar kesenangan sesaat sementara kesenangan yang kekal dan hakikat adalah akhirat?.
Gambaran kehidupan dunia dengan perumpamaan seperti di atas bukanlah bermaksud untuk meremehkan kehidupan dunia, namun sebagai satu peringatan agar manusia tidak terlena dan lalai, atau tidak menjadikan hidup mereka sia-sia dan merugi. Kemudian islam menawarkan kehidupan akhirat yang kekal sebagai tempat bersenang-senang yang abadi, dan hal ini tentunya menjadi kabar gembira bagi mereka yang percaya kepada Allah dan kehidupan di akhirat. Ada beberapa dalil al Qur’an dan Hadits Nabi saw di bawah ini yang bisa dijadikan pedoman bagi manusia dalam menyikapi kehidupan dunia, dan mungkin sebagai renungan bersama, diantaranya adalah:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya akhirat itulah sebenar-benar kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Q.S. al ‘Ankabut: 64).


“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”. (Q.S. at Thogobun: 20).

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di Akhirat (nanti) ada ‘azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhoan- Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (Q.S. al Hadid: 20).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (al Munafiqun: 9).
“...Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (Q.S. Ali Imran: 185).
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari permainan dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”. (al An’pappu: 32).
“Bermegah-megah telah melalaikan kamu”. “ Sampai kamu masuk ke dalam kubur”. “Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui”. “Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin”. (Q.S. at Takatsur: 1 – 4).
Telah menjadi ketentuan Allah jikalau manusia hidup sebagai makhluk sosial, bertetangga, bergaul dengan sesama walaupun terdapat perbedaan bahasa, suku dan warna kulit. Lantas agama menjawabnya agar manusia menjaga tali silaturrahmi dan saling mengenal antar satu dengan lainnya, saling menghormati dan menghargai hak-hak sesama. Islam mengakui kemajemukan manusia sebagai suatu komunitas plural, tetapi bukan untuk saling membedakan, namun untuk saling mengenal antar satu dengan lainnya. Islam melarang untuk berlaku sombong dan angkuh karen perbedaan posisi, keadaan, suku, ras, dan lainnya. Dan kesombongan itu tidak sepantasnya dilakukan manusia karena segala sesuatunya akan kembali kepada Allah Yang Maha Menciptakan.
Kesuksesan manusia dalam meningkatkan mutu dan kualitas ilmu pengetahuannya memang perlu untuk dibanggakan, namun kebanggan itu bukan untuk menjadikan dirinya sombong, angkuh dan tidak tunduk kepada Allah. Manusia lebih cenderung menyibukkan dirinya dengan kesuksesan duniawi, namun lalai akan mengerjakan amal shalih. Manusia mampu seharian duduk di kantornya, namun ketika suara azan memanggilnya untuk sholat dilalaikan. Apalah artinya segudang ilmu dan kekayaan, namun sholat saja masih dilalaikan. Apa gunanya semashur nama di mata masyarakat, namun masih menyimpan perasaan iri, dengki dan menceriterakan prihal orang lain dibelakang. Allah Maha Mendengar dari segala perkataan manusia.
Islam tidak membedakan status sosial antara si miskin dan kaya, seharusnya si kaya yang menyantuni, mengasihi dan menyayangi si miskin dan bukan untuk membeda-bedakan derajat. Allah yang menurunkan rezeki, meluaskan dan menyempitkannya. Apakah pantas bagi manusia untuk berlaku bakhil dan kikir? Nyatalah, yang menjadi pembeda adalah mereka yang paling bertaqwa, bukan mereka yang lebih putih, kaya, cantik, dan berkedudukan. Kesuksesan manusia merupakan kesempatan baik yang diberikan Allah, tetapi Allah juga Maha Mampu merubah kesempatan baik itu sebagai ujian bagi manusia.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”. (Q.S. al Hujarat: 13).
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. (Q.S. ar Rum: 22).

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki Nya dan Dia pula yang menyempitkan rezeki itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman”. “Maka berikanlah kepada kerabat terdekat akan haknya, demikian pula kepada orang fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. ar Rum: 37 dan 38).
Rasulullah saw bersabda: “Bukanlah dikatakan seorang mu’min yang dirinya merasa kenyang sedangkan tetangga sebelahnya kelaparan”. ( H.R. Bukhari dan Muslim r.a ).
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”. (Q.S. al Isra’: 37).
Jelaslah dari dalil-dalil di atas menunjukkan kehidupan dunia adalah sebuah ketentuan Allah (sunnatullah) yang tidak mungkin ada seorangpun yang mampu merubahnya. Seperti halnya perputaran langit dan bumi, tanam-tanaman yang tumbuh subur, gunung-gunung yang Allah tinggikan dan tangguhkan, lautan dan daratan yang terbentang luas.
Kemudian dalam kehidupan dunia dijadikan tempat untuk bercocok tanam, berternak dan lainnya. Dunia merupakan tempat manusia berkembang biak dan meneruskan sejarah. Semua penciptaan ini merupakan sunnatulah yang harus disyukuri oleh manusia sebagai makhluk yang lemah di hadapan Allah swt. Inilah dari tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah swt Yang Maha Kuasa bagi orang-orang yang mau merenungi.
Manusia tidak melihat kekuasaan Allah Yang Maha Mampu dalam mengatur peredaran benda-benda langit. Manusia ingkar dan meremehkan kekuasaan Allah. Padahal manusia sangat lemah dihadapan Allah. Manusia lupa dan amat jarang merenungi beberapa kekuasaan Allah. Padahal, kepada Allah dan Rasulullah sebaik-baik pengaduan dari segala urusan. Dunia memang salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah swt yang nyata, agar manusia benar-benar beriman dan tunduk kepada Nya.
“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan ) bumi supaya bumi itu tidak menggoyahkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik”. (Q.S. Luqman:10).
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Nya ialan bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat Nya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintah Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia Nya; mudah-mudahan kamu mensyukuri.” (Q.S. ar Rum: 46).
“Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa.” (Q.S. ar Rum: 48).
“Allah, Dia lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikanmu sesudah lemah itu kuat, kemudian Dia menjadikanmu sesudah kuat itu lemah kembali dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Q.S. ar Rum: 54).
“Dan Allah, Dialah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu ke suatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu.” (Q.S. Fathir: 9).
“Dan tiada sama antara dua laut yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamulihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karuniya Nyadan supaya kamu bersyukur”. (Q.S. Fathir: 12).
“Dia memasukkan (merubah) malam menjadi siang dan menjadikan siang menjadi (berubah) malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan Nya lahkerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari”. (Q.S. Fathir: 13).
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Onta itu bagaimana diciptakan?”. “Dan langit, bagaimana ditinggikan?”. “Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?”. “Dan bumi bagaimana dihamparkan?”. (Q.S. al Ghasyiyah: 17 – 20).
Bagi orang-orang yang beriman, Allah menjadikan kehidupan dunia sebagai jembatan untuk kehidupan yang kekal (akhirat). Allah membimbing mereka meraih dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta mengajarkan mereka untuk mencari nafkah di dunia tanpa melalaikan waktunya untuk mengingat Allah. Dan juga memberikan kabar gembira sekaligus menuntun mereka dengan ajaran islam bahwa kehidupan dunia sebagai kehidupan untuk bertaubat dan mencari bekal di akhirat. Karena itu Allah menganjurkan manusia supaya teliliti dengan kehidupan dunia ini agar hidup tidak sia-sia. Membimbing manusia sebagai makhluk yang pandai bersyukur. Semua ini tidak lain hanyalah ujian bagi orang-orang yang beriman kepada Nya dan mengikuti ajaran islam.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagian dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S. al Qashash: 77).
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan”. (Q.S. ar Rum: 23)
“Sesungguhnya Allah lebih suka menerima taubat hamba Nya melebihi dari kesenangan seseorang yang menemukan kembali ontanya yang hilang di tengah hutan”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. at Thagobun: 11)

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan Nya dan diberikan Nya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata “Tuhanku menghinakanku”. (Q.S. at Thogobun: 15 dan 16).

B. Makna Spiritual Tentang Hidup
Masyarakat modern dewasa ini menghadapi problem yang sangat serius yaitu alienasi. Alienasi dalam pandangan Eric Fromm (1995) sejenis penyakit kejiwaan dimana seseorang tidak lagi merasa memiliki dirinya sendiri, sebagai pusat dunianya sendiri melainkan terenggut kedalam mekanisme yang sudah tidak lagi mampu dikendalikan. Masyarakat modern merasakan kebingungan, keterasingan dan kesepian karena apa yang dilakukan bukan atas kehendaknya sendiri melainkan adanya kekuatan luar yang tidak diketahuinya menurut perasaan dan akalnya.
Itulah yang juga dikritik oleh Karl Marx, dia menilai akumulasi modal dan alat produksi pada sekelompok elite membuat dunia mengalami kesenjangan sosial yang hanya memunculkan kemiskinan massal di mana rakyat yang miskin semakin miskin dan yang kaya menjadi kaya. Orang miskin menjadi sangat bergantung pada pemilik modal yang menguasai pusat-pusat produksi dan ekonomi sehingga kebebasan individu untuk memilih pekerjaan sebagai aktualisasi diri tidak mendapatkan tempat yang kondusif. Penindasan terjadi secara terus menerus mereka bekerja hanya untuk menjaga keberlangsungan hidupnya semata sementara disisi lain pemilik modal memeras dengan seenaknya.
Kritik Karl Marx hampir sulit diingkari kebenarannya tentang problem alienasi pada masyarakat modern, hal ini juga diperkuat oleh pandangan Chistropher Lasch yang menyebutkan bahwa krisis kejiwaan yang menimpa masyarakat kapitalis terutama barat telah menyebabkan mereka kehilangan sense of meaning dalam hidupnya.
Relevansi dari kuatnya arus globalisasi sebagai bukti dari perkembangan zaman menurut pendapat sebagian pakar merupakan proses menghilangnya sekat-sekat pembatasan ruang dan waktu yang berdampak kepada semakin transparannya proses transformasi nilai-nilai dan terjadinya asimilasi budaya yang semakin cepat dan nyaris tanpa batas (the world without border) (Tilaar, 2000).
Kondisi demikian pada akhirnya menjadikan individu dituntut untuk semakin kompetitif dan mampu bersaing dengan individu yang lainnya. Pada saat itu, individu yang lambat akan tertinggal dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dengan segala kenikmatannya. Sebaliknya, kesuksesan hanya akan dimiliki oleh individu yang mampu bersaing dan memiliki kedewasaan dalam berpikir dan mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat pada hakikatnya adalah sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan sistem sebagai dampak globalisasi mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran, dan perubahan nilai dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan mewarnai cara berpikir dan perilaku manusia.
Nilai menjadi hal yang penting pada tiap fase perkembangan individu karena nilai menjadi dasar dalam menentukan pengambilan keputusan. Rusaknya nilai dalam mesyarakat tentunya berdampak negatif pula terhadap perkembangan masyarakat itu sendiri. Sebagai imbasnya setiap aspek kehidupan, baik yang secara langsung atau tak langsung memberikan pengaruh terhadap masyarakat ikut terganggu dan bahkan menjadi "hancur" (Tirtarahardja,1994).
Perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya mengalami percepatan. Percepatan perubahan ini berdampak kepada hal-hal sebagai berikut: (1) kecenderungan globalisasi yang makin kuat; (2) perkembangan IPTEK yang makin pesat; (3) perkembangan arus informasi yang makin padat dan cepat, dan (4) tuntutan peningkatan layanan profesional dalam berbagai aspek kehidupan manusia. (Tirtarahardja, 1994).
Alfin Tofler (Ancok, 2002) menggambarkan kemasakinian dalam konteks peradaban dunia dengan istilah Gelombang Keempat (Fourt Wave); yaitu respiritulisasi berupa bentuk akomodatif terhadap potensi dan antisipatif terhadap tantangan dan perubahan yang semakin cepat, dengan jalan membentuk kerjasama antar tiap individu dalam adegan mikro, messo dan juga makro; sehingga terjadi suatu harmoni dalam kehidupan dan keseimbangan (equilibirium) dalam tatanan kehidupan, baik dengan individu itu sendiri, alam, maupun dengan lingkungan sekitar.
Sayyed Hossein Nasr berpandangan bahwa manusia modern dengan kemajuan teknologi dan pengetahuannya telah tercebur kedalam lembah pemujaan terhadap pemenuhan materi semata namun tidak mampu menjawab problem kehidupan yang sedang hadapinya. Kehidupan yang dilandasi kebaikan tidaklah bisa hanya bertumpu pada materi melainkan pada dimensi spiritual.
Terkait dengan aspek spiritualitas atau pada istilah lain adalah releigiusitas/ transedensi, dalam kajian keilmuan bimbingan dan konseling terdapat beberapa pandangan yang disampaikan para ahli psikologi, khususnya yang beraliran fenomenologis-eksistensial. Pertama, yang dipelopori oleh Viktor E. Frankl dengan faham Logo Terapinya; dan kedua, Abraham E. Maslow dengan te'ori kebutuhannya (need theory) mencetuskan tentang konsep yang terkait dengan upaya membantu individu untuk mencapai perkem­bangan optimal, walaupun dengan pemaknaan dan perspektif yang berbeda untuk masing-masing faham. Frankl memaknai transen-densi sebagai akumulasi pengalaman individu yang bertendensi negatif dan positif, sehingga melahirkan kebermaknaan hidup; sedangkan Maslow memaknai trensendensi sebagai pencapaian aktualisasi diri (self actualization) oleh individu.
Walaupun perspektif mereka berbeda, akan tetapi yang perlu dicatat di sini adalah keberanian dan pencapaian "kontemplasi" mereka dalam mengetengahkan tentang sisi keterbatasan individu dalam memahami peristiwa ataupun pengalaman yang dialami individu yang berada di luar jangkauan pemahaman inderawi dan nalar logik manusiawi. Dari pemahaman itu, pada akhirnya mendorong individu untuk meyakini hakikat ketuhanan, menyadarkan akan kelemahan yang dimilikinya, dan sekaligus menjadi motivasi untuk mengembangkan potensi diri secara proporsional.
Faham-faham yang dilontarkan para tokoh aliran fenomeno-logis-eksistensial tersebut secara langsung membantah pandangan psikoanalitik yang cenderung memandang individu dari sudut negatif dengan sifat-sifatnya yang pesimisitik, deterministik, dan juga penuh kecemasan; begitupun behavioristik yang memandang individu mekanistik yang dapat diubah dengan formula S-R (Stimulus dan Respon). Faham ini seolah menyadarkan individu tentang hakikat hidup dan potensi diri yang sesungguhnya masih banyak yang belum terungkap, sehingga mengantarkan individu untuk meyakini terhadap suatu kekuatan yang berada di luar jangkauan dan kekuatan diri mereka.
Nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan individu menjadi urgen karena pada diri individu terdapat potensi dan kecenderungan yang berorientasi pada obyek pemikiran dan kontemplasi pada realitas di luar wilayah materi yang bersifat fisik (Hidayat, 2002). Kecenderungan ini membawa pada suatu kesadaran diri (self awareness) tentang kelebihan dan kelemahan diri, dan keterbatasan aspek-aspek inderawi dalam memahami sesuatu yang berada di luar jangkauan fisik dan rasio kamanusiaan.
Dimensi spiritualitas dalam aktivitas konseling menjadi cukup signifikan, karena konseling merupakan aktivitas yang fokus pada upaya membantu (building relationship) individu/klien dengan segala potensi dan keunikannya untuk mencapai perkembangan yang optimal. Sementara itu dimensi spiritualitas berfungsi sebagai radar yang mengarahkan pada suatu titik tentang realitas, bahwa terdapat aspek-aspek kompleks pada diri individu yang tak terjangkau untuk ditelusuri dan dijamah, serta menyadarkan bahwa aspek hidayah hanya datang dari Sang Penggenggam kehidupan itu sendiri.Dimensi pada akhirnya menjadi penting pada aktivitas konseling, yang berupa motivasi untuk semakin konsisten dengan profesi yang ditekuni dan menimbulkan kobaran api semangat untuk membantu individu/klien dengan penuh keikhlasan, serta menciptakan nilai-nilai luhur keyakinan pada aktivitas bantuan yang dilakukan dalam bentuk empati, perhatian, dan kasih sayang.
Hal utama kaitan dimensi spiritualitas dalam konseling adalah upaya memandang sebagai bagian dari proses kepentingan pembinaan tersebut. Oleh karena itu, dimensi spiritual dalam bimbingan konseling selalu mengutamakan hakekat manusia. Sebagai keilmuan yang mengkaji tentang hubungan kemanusiaan, maka bimbingan dan konseling memiliki pandangan tentang dimensi kemanusiaan. Djawad Dahlan (2002) memaparkan dimensi kemanusiaan dalam perspektif bimbingan dan konseling sebagai berikut:
1.                          Pandangan yang menganggap manusia sebagai makhluk yang pada dasamya bersifat deterministik, pesimistik, mekanistik dan reduksionalistik. Menurut pandangan ini, individu dipan-dang tidak mampu meraih kebebasan susila, karena segala gerak dan ucapnya dipandang datang dan ditentukan oleh dorongan-dorongan instinktif yang tidak terbendung, tidak dapat dikendalikan dan bahkan tidak mungkin untuk dikenal. Segala perilaku manusia, bahkan yang bersifat etis religius pun dipandangnya tidak lain sebagai sublimasi dari dorongan-dorongan tidak disadari.
2.            Terdapat juga konsep bimbingan dan konseling yang berwama behavioristik. Pandangan ini pun menyandang ciri deter­ministik, sehingga perilaku individu menurut paham ini, sepenuhnya dapat ditentukan dan ditempa dari luar, melalui pembentukan hubungan stimulus-respon, latihan atau training. Latihan, pembiasaan, reinforcement, extinction, desentisitasi, merupakan tindakan-tindakan lunci untuk merubah perilaku klien. Sederhananya individu adalah makhluk mekanistik yang dapat dikendalikan dari luar oleh lingkungan.
3.            Pandangan yang agak sejalan dengan pemberian latihan untuk berbuat, mengimplikasikan bahwa pemberian bantuan kepada klien hendaknya berupa peningkatan keterampilan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya sekarang ini, dalam kehidupan ini, di tempat ini dan dengan kondisi seperti ini. Keterlibatan kepada tempat, waktu, situasi dan kondisi, membuat klien sulit untuk mempunyai pandangan kedepan. Bagi mereka, keadaan seperti ini tidak dipandang sebagai persoaian yang serius, karena memang segala sesuatu tiada yang tetap, melainkan selalu berubah.

Berdasarkan ketiga pandangan di atas, lebih lanjut Djawad Dahlan (2002) menegaskan bahwa apabila pandangan tersebut selamanya menjadi referensi bagi upaya membantu perkembangan klien, tentunya individu hanya dihargai sebagai makhluk yang degradasi yang sepenuhnya tunduk kepada naluri dan dorongan impulsif, atau tunduk kepada kekuasaan dari !uar dirinya, maka muncuilah pandangan lain yang diametral dan mendewa-dewakan manusia.
Pandangan ini bersifat optimistis, penuh harapan terhadap kemampuan individu dan memandangnya memiliki kemampuan untuk berbuat sendiri di bumi ini dan menentukkan tujuannya sendiri. Himbauannya terhadap pendidikan dan bimbingan dan konseling ialah agar individu dapat menolong dirinya sendiri dengan jalan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Akan tetapi kebebasan berpikir dan mengembangakan diri yang dilakukan klien tidak menutup kemungkinan akan berbenturan dengan tata nilai dan norma yang berlaku di keluarga, sekolah ataupun lingkungan masyarakat, apalagi jikalau satuan norma yang berlaku lebih banyak bermuatan aspek kebebasan dari tatanan nilai-nilai agama dan spiritual.

a.       Konsep Spiritualitas
Penggunaan istilah spiritual saat ini meluas hingga memasuki hampir semua disiplin ilmu dan kehidupan, diduga gejala ini muncul sebagai akibat dari adanya kehampaan kehidupan manusia modern yang meninggalkan ruh kehidupannya tergerus oleh corak berfikir rasional, positivistik bahkan cenderung ateis tetapi kering dari sisi spiritual.
Secara bahasa spiritual berasal dari kata spirit atau spiritus yang mengandung pengertian: nafas, udara, angin, semangat, kehidupan, pengaruh, antusiasme, atau nyawa yang menyebabkan hidupnya seseorang. Kata spiritus dipergunakan untuk bahan bakar dari alkohol, di Barat minuman anggur sering juga disebut sebagai spirit dalam arti minuman pemberi semangat. Dari serangkaian arti diatas kata spirit jelas mengandung makna kiasan yaitu semangat atau  sikap yang mendasari sebuah tindakan, karena sebuah tindakan manusia banyak sekali yang mendasarinya, sedangkan spirit adalah dapat menjadi salah satunya.
Kata spirit juga digunakan untuk menyebut sebuah entitas atau makhluk immaterial, atau sesuatu bentuk energy yang hidup, nyata, meski  kasat mata, tidak memiliki badan fisik. Entitas makhluk hidup ini ada dua, yang bersifat ketuhanan menurut aslinya dan memiliki cirri karakteristik kemanusiaan, atau juga dipergunakan untuk makhluk halus atau hantu (Chaplin, dalam Kartono, 2001)
Secara istilah pengertian spiritual dan spiritualitas sangat luas dan beragam tergantung dalam konteks dan kajiannya. Menurut Achiryani S. Ahmad (2000:2-4), spiritualitas adalah; Keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sumber kekuatan vital yang memotivasi, mempengaruhi gaya hidup, perilaku, hubungan seseorang dengan yang lainnya., atau kumpulan dimensi nilai-nilai yang dapat mempengaruhi sikap dan interaksi seseorang dengan dunia sekitarnya.
Sedangkan menurut Burkhardt (1993) spiritualitas dalam kehidupan seorang individu meliputi aspek-aspek beriku;
1.       Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidak pastian dalam kehidupan.
2.       Menemukan arti dan tujuan hidup
3.       Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
4.       Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.

Mickley (1992) menguraikan spiritualitas sebagai sesuatu yang mengandung dua dimensi yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama, dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
R.T Stoll (1983) menyebutnya dengan istilah berbeda, menurutnya spiritualitas adalah sebuah konsep dengan dua dimensi yaitu: dimensi vertical adalah dimensi yang berhubungan dengan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang dan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan.
Diantara dua dimensi tersebut menurut Stoll terdapat hubungan yang terus menerus dan tidak boleh terputus. Selain istilah  diatas terdapat beberapa istilah penting yang terkait yaitu konsep spiritual dan kebutuhan spiritual. Dalam pandangannya konsep spiritual  adalah konsep dimana seseorang berupaya mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, mendapatkan kekuatan saat-saat kritis, ketahanan diri dan mencari jati diri dan kesadaran diri.
Dennis Lardner (2006:6) memberikan pandangan yang cukup unik tentang konsep spiritual yang dia hubungkan dengan kehidupan para guru spiritual. Ia berpandangan sebagai beriku: ” Spiritualitas merupakan sebuah kehidupan dan kepedulian religius eksistensial. Ajaran tentang bagaimana hidup, apa yang harus dipikirkan tentang realitas tertiggi, bagaimana menjadi tidak dipengaruhi oleh emosi dan perasaan.
Dalam Dictionary of Spirituality, Westninster (2006: 7-8) menjelaskan tentang pemaknaan spiritualitas sebagai berikut:
”Spritual adalah kata yang sangat kabur maknanya bagi orang-orang Kristen di era kita. Istilah ini berasal dari  Katolik Perancis, sekarang juga umum bagi kelompok Protestan. Ajaran masa sekarang dikritik karena kurangnya spiritualitas, bermakna bahwa ajaran tersebut hendaknya mungkin lebih  suka berbicara teologi mistik, dimana teologi merupakan perenungan terhadap Tuhan dan bukannya sebuah kegiatan berdasarkan alasan yang berpindah-pindah semata, atau seperti yang dikatakan Alexander tentang kehidupan Kristen.

Dennis Lardner (2006) bahkan menegaskan bahwa: ” spiritualitas terletak  dalam inti seseorang, pusat terdalam, di mana dia melakukan kontak dengan Tuhan, realitas tertinggi, Yang Suci, yang memberikan kehidupan dan koherensi penciptaan, kecantikan dan signifikansi. Selain itu spiritualitas adalah agama eksistensial; keyakinan, komitmen tertinggi, sebagaimana mereka bergerak sepanjang urat syaraf, tindakan langsung di samping juga pikiran, perasaan. Spiritualitas adalah hidup, filsafat yang dialami, teologi, kebijaksanaan atau apapun yang diinginkan seseorang agar diperlihatkan orang lain.
Dalam hal ini spiritualitas bersifat komprehensif karena dalam spiritual menyentuh semua aspek kehidupan seseorang termasuk kontribusinya bagia agama atau komunitas karena spiritualitas mewarnai, jika bukannya menentukan inti seseorang. Cahaya spiritual akan mengakibatkan munculnya perhatian yang luar biasa. Tidak sulit membuat argumen bahwa di dalam semua spiritualitas yang tetap bertahan pada saat ini, cahaya akan mengakibatkan munculnya perhatian yang sama.
b.       Kebutuhan Manusia  Pada Spiritualitas
Spiritual memiliki kekuatan untuk mentransformasi kehidupan kita dan bahkan dapat mengubah realitas kehidupan fisik di sekitar kita. Ada sebuah kisah menarik tentang hakikat kecerdasan spiritual sebagai berikut:
” Pada suatu sore menjelang malam, ada tiga orang tua yang sedang berdiri di depan pintu sebuah rumah. Ketiganya kelihatan seperti sedang dalam perjalanan jauh. Namun meskipun demikian tidak tampak tanda kelelahan atau kegetiran dari raut muka mereka. Beberapa saat kemudian keluarlah seorang wanita dari dalam rumah tersebut. Melihat ketiga orang tua tersebut, wanita ini menjadi iba dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke rumah dan makan malam bersama dengan keluarga di rumah tersebut.

Salah satu dari ketiga orang tua tersebut menjawab,”Perkenalkan nama saya adalah wealth (yang berarti kekayaan), dia bernama success (yang berarti kesuksesan), dan teman saya yang satu lagi bernama love (yang artinya kasih). Kami tidak dapat masuk bersama-sama ke dalam rumah. Anda harus memilih siapa di antara kami yang Anda undang untuk masuk ke dalam?” Kemudian si wanita masuk kembali ke dalam rumah dan menceritakan kejadian tersebut kepada suaminya. ”Sudah jelas bagi kita untuk mengundang wealth ke dalam rumah. Karena dengan kekayaan kita dapat memiliki segalanya di dunia ini,” kata sang suami. Tetapi sang istri lebih memilih success untuk dapat menikmati kehidupan di dunia ini.

Tiba-tiba anak mereka yang berumur sebelas tahun menimpali, ”Mengapa kita tidak memilih love, sehingga kita bisa saling mengasihi dan menciptakan kedamaian dalam kehidupan kita.” Akhirnya mereka sepakat untuk mengundang love. Ketika sang isteri menyampaikan hal tersebut kepada ketiga orang tua tadi, maka masuklah love ke dalam rumah. Tetapi kemudian kedua orang tua yang lain juga mengikutinya masuk ke dalam rumah. Bertanyalah wanita itu,”Kami hanya mengundang love, mengapa kalian berdua juga mau masuk ke dalam rumah kami? Bukankah kalian berkata bahwa kalian tidak dapat masuk bersama-sama ke dalam rumah?” Salah satu dari orang tua itu menjawab,”Jika kalian mengundang saya, wealth atau teman saya, success, dua orang dari kami akan tetap tinggal di luar. Tetapi karena Anda mengundang love, maka kami berdua harus ikut ke dalam. Kemana pun love pergi kami akan mengikutinya.

Whereever there is love, there is also wealth and success.” Kisah ini menunjukkan bahwa seorang anak kecil dapat memperlihatkan kecerdasan spiritual yang tinggi. Jelas bagi kita bahwa sang anak lebih cerdas secara spiritual, karena mengetahui manakah yang lebih penting antara kekayaan, kesuksesan dengan cinta kasih. (Solikin: 2009)

Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi. Jika merujuk pada agama, pada awal penciptaan manusia, Tuhan meniupkan roh atau napas kehidupan kepada manusia. Berarti roh kita adalah sesuatu yang membuat kita hidup. Jadi Roh kita bersumber pada sumber yang sama, yaitu Tuhan yang Mahakuasa. Kita nantinya juga akan kembali menyatu dengan Sang Pemberi Kehidupan. Jadi apa pun agama kita, status sosial ekonomi, suku, ras, golongan, kebangsaan dan tingkat pendidikan kita, tidaklah menjadi yang utama. Menjadi cerdas spiritual berarti mampu melalui batasan atau sekat-sekat tersebut dan menemukan siapa diri kita yang sebenarnya serta tujuan kehidupan kita. Menjadi cerdas spiritual berarti kita lebih memahami diri kita sebagai makhluk spiritual yang murni, penuh kasih, suci, dan memiliki semua sifat-sifat ilahi. Termasuk memiliki kemampuan sebagai pencipta realitas kehidupan yang berkualitas dan berkelimpahan (menjadi co-creator)
Spiritualitas Adalah Kebutuhan Tertinggi Kita. Ahli jiwa termashur Abraham Maslow, dalam Makalah nya Hierarchy of Needs menggunakan istilah aktualisasi diri (self-actualization) sebagai kebutuhan dan pencapaian tertinggi seorang manusia. Maslow menemukan bahwa, tanpa memandang suku atau asal-usul seseorang, setiap manusia mengalami tahap-tahap peningkatan kebutuhan atau pencapaian dalam kehidupannya. Kebutuhan tersebut meliputi: Kebutuhan fisiologis (Physiological), meliputi kebutuhan akan pangan, pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan biologis. Kebutuhan keamanan dan keselamatan (Safety), meliputi kebutuhan akan keamanan kerja, kemerdekaan dari rasa takut ataupun tekanan, keamanan dari kejadian atau lingkungan yang mengancam, Kebutuhan rasa memiliki, sosial dan kasih sayang (Social), meliputi kebutuhan akan persahabatan, berkeluarga, berkelompok, interaksi dan kasih sayang, Kebutuhan akan penghargaan (Esteem), meliputi kebutuhan akan harga diri, status, prestise, respek dan penghargaan dari pihak lain, Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization), meliputi kebutuhan untuk memenuhi keberadaan diri (self fulfillment) melalui memaksimumkan penggunaan kemampuan dan potensi diri.
Terlihat bahwa kebutuhan manusia berdasarkan pada urutan prioritas, dimulai dari kebutuhan dasar, yang banyak berkaitan dengan unsur biologis, dilanjutkan dengan kebutuhan yang lebih tinggi, yang banyak berkaitan dengan unsur kejiwaan, dan yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri tersebutlah yang dimaksud dengan kebutuhan spiritual. Jika dan hanya jika seluruh kebutuhan fisiologis dan kejiwaan seseorang tercapai, dia dapat mencapai tahap perkembangan tertinggi yaitu, aktualisasi diri.  Maslow mendefinisikan aktualisasi diri sebagai sebuah tahapan spiritualitas seseorang, di mana seseorang berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendah-hatian, serta memiliki tujuan hidup yang jelas, dan misi untuk membantu orang lain mencapai tahap kecerdasan spiritual ini. Menurut Maslow, pengalaman spiritual adalah peak experience, plateau – the farthest reaches of human nature.
Pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberadaannya sebagai makhluk spiritual. Pengalaman spiritual merupakan kebutuhan tertinggi manusia. Bahkan Maslow menyatakan bahwa pengalaman spiritual telah melewati hierarki kebutuhan manusia, going beyond humanness, identity, self-actualization, and the like.”
Pada akhirnya manusia sebenarnya membutuhkan spiritualitas sebagai bagian dalam hidupnya pada proses penemuan makna hidup. Kebutuhan manusia akan spiritualitas didasarkan pada;
1.             Kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan, penuh rasa percaya denga Tuhan (Carson, 1989).
2.             Kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan.
3.             Kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf.

Menurut Dr. Howard Clinebel yang dikutip Prof. Dr.dr. Dadang Hawari (2002) ada sepuluh kebutuhan dasar spiritual manusia, yaitu kebutuhan akan;
1.         Kepercayaan dasar yang secara terus menerus diulang guna membangkitkan kesadaran spiritual.
2.         Makna hidup, tujuan hidup yang selaras dan seimbang secara vertikal dan horizontal.
3.         Komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup keseharian
4.         Pengisian spiritual secara teratur sebagai hubungan dengan Sumber Spiritual
5.         Bebas rasa berdosa (vertikal) dan rasa bersalah (horizontal)
6.         Penerimaan diri dan harga diri (self acceptance and self esteem)
7.         Rasa aman, terjamin keselamatan terhadap harapan masa depan
8.         Dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi dan hidup sebagai pribadi utuh
9.         Terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia
10.     Kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilai-nilai religious

c.   Dimensi Spiritualitas Sebagai Puncak Kecerdasan
                Temuan riset tentang kecerdasan spiritual (SI/SQ) merupakan temuan yang menggemparkan karena temuan ini disebut-sebut sebagai the ultimate intelligence, puncak kecerdasan, setelah sebelumnya dunia psikologi dan pendidikan digemparkan oleh temuan terbaru Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence (kecerdasan emosional/EQ). Menyahuti temuan tersebut maka di sana-sini senantiasa ramai diperbincangkan tentang kecerdasan emosional. Kajian intensif, diskusi, seminar, bahkan pendidikan dan pelatihan dalam skala besar diadakan hanya sekedar untuk menegaskan bahwa kecerdasan emosional sama ampuhnya dan bahkan terkadang lebih ampuh dari IQ (kecerdasan intelektual).
                Namun, seperti terasa belum tuntas betul kajian tentang EQ, perhatian kita tiba-tiba dialihkan pada spiritual intelligence yang dalam buku ini disebut oleh Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai the ultimate intelligence. Ini sungguh mencengangkan karena SI dipandang sebagai kecerdasan tertinggi manusia, yang dengan sendirinya melampaui segi-segi dua kecerdasan sebelumnya yakni kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. SI menurut Zohar dan Marshall mengintegrasikan semua kecerdasan manusia, baik IQ maupun EQ. Dengan spiritual intelligence kita diharapkan menjadi prototipe manusia yang benar-benar utuh dan holistik, baik secara intelektual, emosional, dan sekaligus secara spiritual. Apa yang diungkapkan Zohar dan Marshall tentang SI ini memang sangat menarik apalagi dengan membandingkannya dengan paradigma kecerdasan yang selama ini sudah jauh lebih populer dan mapan, yakni IQ dan EQ.    Sebelum ditemukan EQ masyarakat mencitrakan bahwa IQ merupakan kunci kecerdasan untuk meraih masa depan, seseorang yang ber-IQ tinggi mempunyai masa depan cemerlang dan menjanjikan. Sampai-sampai hal itu merasuk kuat ke dalam ingatan kolektif masyarakat: ber-IQ tinggi menjamin kesuksesan hidup; sebaliknya, ber-IQ sedang-sedang saja, apalagi rendah, begitu suram masa depan hidupnya.
                Namun benarkah IQ menjadi kunci kecerdasan untuk meraih masa depan, dan sekaligus satu-satunya parameter kesuksesan hidup? Tidak! Inilah jawaban tegas Daniel Goleman. Fakta bicara lain, bahkan berbalik total. Sejak dipublikasikannya emotional intelligence (EI/EQ) tahun 1995, temuan riset terbaru Goleman tersebut lebih dari cukup untuk berkesimpulan mengapa orang-orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang justru menjadi sukses. Tentunya faktor lain untuk menjadi cerdas yang dipopulerkan Goleman dengan kecerdasan emosional (EQ). Perhatiannya kemudian tertuju pada “faktor-faktor lain”, yaitu emotional intelligence: kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.
                Setelah muncul paradigm EQ yang menghebohkan tersebut, dunia diramaikan lagi dengan temuan yang lebih komprehensif, yaitu kecerdasan spiritual. Keramaian ini meluas tidak saja di lembaga-lembaga keagamaan, namun juga di perusahaan-perusahaan besar yang berkeinginan menumbuhkan dan mengembangakan segi-segi kecerdasan spiritual pada staf dan karyawannya dalam aktivitas menjalankan rada bisnis mereka. Walaupun begitu untuk kasus Indonesia harus diakui walaupun penduduknya mayoritas muslim namun segmen masyarakat yang mengenal SI belum sebanding dengan jumlah tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena SI wacana baru dalam masyarakat Indonesia. Hal ini sejalan dengan apa yang disinyalir dalam website www.amazon.com berkaitan dengan sebuah buku yang berjudul The Spiritual Intelligence Hanbook karya Paul Edwards (1999). Website ini mengemukakan komentar unik dan sedikit memprihatinkan “mayoritas pembaca memang belum pernah mendengar wacana SI, membacanya, apalagi berdiskusi dengan orang lain tentang kecerdasan spiritual ini ”.
                Selain itu belum begitu tersosialisasinya wacana SI ini, disebabkan oleh wacana ini memang benar-benar sesuatu yang anyar dan terkesan istimewa (luxurious) ditataran pemikiran intelektual, di dunia sekalipun. Padahal, “SQ is the necessary foundation for the effective functioning of both IQ and EQ. It’s our ultimate intelligence” kata Zohar dan Marshall. Ini benar-benar luar biasa. SI sebagai puncak kecerdasan merupakan wawasan pemikiran yang sangat luar biasa mengagumkan, dan sekaligus argumen pemikiran tentang betapa pentingnya hidup sebagai manusia yang cerdas secara spiritual.
                Kemunculan istilah SQ/SI itu sendiri sampai saat ini memang masih menjadi kontroversi. Sebagian masyarakat masih belum menerima penggunaan kata Quotient yang dilekatkan dengan kata Spiritual (SQ). Mereka beralasan sebagai sesuatu yang transcendental, SQ dikatakan berbeda dengan IQ. Spiritual tidak dapat diukur berdasarkan perhitungan mental age dibagi cronological age dikalikan seratus.  Di sini sangat beralasan jika buku buah karya Danah Zohar dan Ian Marshall yang berjudul berjudul “SQ: Spiritual Intelligence” bukan SQ: Spiritual Quotient yang dijadikan rujukan dalam disertasi ini sebagai acuan teori dan kerangkan membangun kerangka pemikiran, disertai dengan pengakuan bahwa membicarakan kecerdasan spiritual merupakan sesuatu yang masih dianggap janggal oleh para akademisi, karena mereka menganggap ilmu pengetahuan belum memiliki perangkat untuk mempelajari sesuatu yang tidak mampu diukur secara objektif. Zohar dan Marshall mendapat dukungan Steven R. Covey (2004) yang menulis spiritual intelegence dengan SQ bukan SI dalam bukunya yang berjudul “The Seven Habits From Effectiveness to Greatness”. Hal ini tentu saja mengundang pertanyaan, mengapa penulisan spiritual intelligence sering disingkat “SQ bukan SI”.
                Terlepas dari adanya perbedaan penyebutan kecerdasan spiritual dengan SQ tidak SI - (penulis lebih cenderung menyebutnya SI) – namun yang perlu digarisbawahi istilah yang dimunculkan adalah untuk menunjukkan bahwa SI merupakan sebuah kapasitas (capacity) dan abilitas (ability) – daya/kemampuan - yang memungkinkan manusia tumbuh dan berkembang. Tentu saja yang tumbuh dan berkembang di sini bukanlah fisiknya namun sistem nilai yang dianutnya. Karena pada hakikatnya kemampuan dan kecakapan merupakan aspek yang selalu menyertai setiap perilaku cerdas manusia selama proses perkembangannya hingga mencapai kesempurnaan (Daris Tamin, 2009). Dengan kata lain kecerdasan spiritual melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam, dan dari sudut pandang psikologi memberitahukan kepada kita bahwa ruang spiritual (spiritual space) pun memiliki kecerdasan. Logika sederhananya ternyata di antara kita bisa saja ada orang yang tidak cerdas secara spiritual, dengan ekspresi keberagamaannya yang monolitik, ekslusif, dan intoleran yang seringkali berakibat pada kobaran konflik atas agama. Begitu juga sebaliknya, di antara kita bisa juga ada orang yang cerdas secara spiritual sejauh orang itu mengalir dengan penuh kesadaran, dengan sikap jujur dan terbuka, inklusif, dan bahkan pluralis dalam beragama di tengah pluralitas agama.
                Sejumlah argumentasi yang mengantarkan spiritualitas disebut sebagai kecerdasan tentunya tidak terlepas dari hasil penelitian para ahli tentang akar kekuatan spiritualitas dalam otak manusia. Kajian neurologi, psikologi bahkan antropologi yang telah dilakukan menguatkan dugaan selama ini bahwa ada sebuah potensi dalam diri manusia yang terletak di saraf otaknya. Kerja keras yang menghebohkan dunia ini di antaranya adalah karya besar Michael Persinger (1990) dan V. Ramachandran (1997) yang menemukan bahwa dalam otak manusia ada “Titik Tuhan” (God Spot). Gagasan tentang spiritualitas sebagai kecerdasan berbasis otak merupakan hal yang sepenuhnya baru namun telah menjadi fenomena yang melampaui paradigma sains kognitif abad ke duapuluh, yang melengkapi berbagai kajian, hipotesis, konsep, pengetahuan, dan teori tentang manusia yang memang sudah tak terhitung jumlahnya. Karena pada dasarnya manusia tak pernah berhenti mencari dan menemukan hakikat eksistensinya yang memang masih menyimpan sejuta misteri. Persoalan tentang kelahiran dan kematian merupakan salah satu misteri yang selalu menarik untuk dikaji di samping realitas kebahagiaan dan kesedihan dan lain-lainnya yang kadangkala sulit untuk mampu dilogikakan.
                Mencari pengertian atau definisi tentang kecerdasan spiritual bukanlah hal yang gampang. Karena istilah spiritual itu sendiri memang sulit didefinisikan, dan sangat multidimensi dan multiinterpretasi, sebagaimana yang dikatakan oleh West (2000) dan Cornet (1998) bahwa spiritualitas merupakan konsep yang sangat penting namun sulit untuk didefinisikan, walaupun menurut Bastaman (2007) sebenarnya istilah spirit atau spirituality bukanlah istilah baru, karena dalam setiap agama dan budaya kata itu selalu ada. Yang menjadi pertanyaan apakah spiritualitas itu selalu berkaitan dengan agama atau sebaliknya?
                Untuk menjawab pertanyaan tersebut bukanlah hal mudah. Dalam beberapa literature spiritualitas dibedakan dengan agama (religion) bahkan dikatakan “spirituality is not religion”. Spiritual adalah hidup dan sangat jauh dari tubuh (fisik) yang mengimplikasikan eksistensi jiwa (spirit of soul), dan ini sangat berbeda dengan definisi agama (oxford, 1980) yang mengimplikasikan keyakinan terhadap kekuatan kontrol superhuman yang lumrahnya diekspresikan melalui ritual penyembahan (worship).  Bagi aliran yang memandang spiritualitas berbeda dengan religiusitas tentu akan memandang SI juga tidak terkait dengan kualitas keagamaan seorang penganut agama formal. Kecenderungan ini juga akan berimplikasi pada cara keyakinan dan keimanannya terhadap aspek-aspek agama, terutama tentang eksistensi Tuhan, kekuasaan, dan kedaulatannya terhadap manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Agama formal dianggap sebagai perangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal, dan dipersepsi bersifat top-down, diwarisi dari pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga dan tradisi. Inilah juga yang diyakini oleh Zohar dan Marshall: SQ/SI tidak mesti berhubungan dengan agama. Karena menurut mereka SI mungkin menemukan pengungkapan melalui agama formal, tetapi agama tidak menjamin SI tinggi. Tak sedikit orang humanis, ateis, bahkan agnostic memiliki SI tinggi, namun sebaliknya banyak orang yang aktif dan fanatik beragama memiliki SI sangat rendah.
                Adanya dikotomi antara spiritualitas dan religiusitas tentu sangat dipengaruhi cara pandang para ilmuwan terhadap manusia dan dinamika perilaku manusia. Konsep dan teorinya tentang manusia tentunya juga akan sangat dipengaruhi oleh falsafah tentang manusia dan agama itu sendiri. Ketidaksamaan paradigma berpikir tersebut tentu akan memberikan perbedaan pada wawasan, teori, konsep, metode, dan hasil-hasil penelitian penting tentang manusia dan keberagamaannya. Di sini dapat diambil sebuah pemahaman bahwa untuk memahami beragam jenis pengertian, konotasi, dan interpretasi SI perlu diadakan penelusuran yang mendalam terhadap akar pemikiran para pakar yang berteori tentang SI, yakni ada yang berorientasi Antroposentrisme dan sebagian berorientasi Theosentrisme.
                Antroposentrisme dianut oleh aliran Psikoanalisis, Behavioristik, Humanistik, dan Transpersonal, yang menurut Bastaman (Daris Tamin, 2009) adalah aliran psikologi yang menganggap dan menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini mengangkat manusia ke tempat teramat tinggi: seolah olah ia adalah prima –causa yang unik, pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki pula kebebasan penuh untuk berkehendak dan berbuat apa saja yang dianggap baik dan sesuai baginya. Sedangkan Theosentrisme merupakan konsep yang meyakini bahwa Tuhan (God) adalah pencipta seluruh jagad raya dan seluruh organismenya, termasuk juga manusia. Manusia ada dalam kesan Tuhan yang memberikan pelayanan bagi kehidupan manusia untuk memelihara dan menjaga alam semesta. Tuhan adalah objek penyembahan yang mengontrol segala sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
                Zohar dan Marshall sebagai ilmuwan yang berorientasi Antroposentrisme sangatlah bisa dimengerti bila mengatakan bahwa SI tidak mesti berhubungan dengan agama, bahwa seorang humanis, atheis, atau agnostic dapat memiliki kecerdasan spiritual sangat tinggi; karena dalam konsepnya mereka menyandarkan semua teorinya pada teori Darwin tentang evolusi, prinsip-prinsip Psikoanalisa tentang id, ego, dan superego, dan psikologi humanistik tentang need actualization. Kecerdasan manusia menurut Zohar dan Marshall ada tiga macam dan semuanya berasal dari kode genetik serta ada sepanjang sejarah planet ini. Ketiga jenis kecerdasan tadi bekerja melalui dan dikendalikan oleh jaringan saraf dalam otak manusia. Ketiga bentuk kecerdasan tersebut adalah (1) kecerdasan intelektual yaitu fungsi berpikir rasional, logis, dan tata-aturan yang dikenal dengan IQ, (2) kecerdasan emosional sebagai fungsi berpikir asosiatif, yang lumrahnya dibentuk oleh kebiasaan dan pengalaman dan dikenal dengan EQ, dan (3) kecerdasan spiritual sebagai fungsi berpikir kreatif, berwawasan, dan membuat atau mementahkan aturan, inilah yang dikenal dengan SQ/SI. Selanjutnya mereka menyimpulkan bahwa terdapat tiga proses psikologis dalam diri manusia yaitu (1) prapersonal yang bersifat instingtif dan asosiatif, yang disebut Freud “id” dan ini merupakan proses primer, (2) personal yaitu fenomena ego yang bersifat logis, rasional, dan linier yang kemudian disebut proses sekunder, dan (3) transpersonal yang bersifat unitif (integratif) sehingga melampaui diri ego menuju inti wujud yang kemudian disebut proses tersier (Daris Tamin, 2009: 37-38).
                Dalam pandangan Zohar dan Marshall transendensi yang dianggap sebagai kualitas tertinggi dari kehidupan spiritual bukanlah sebagai sesuatu yang berada di balik materi sebagaimana anggapan para agamawan, tetapi merupakan sesuatu yang lebih sederhana namun sekaligus fundamental. Transenden merupakan sesuatu yang “beyond” untuk mengatasi masa kini, mengatasi rasa suka dan duka, bahkan untuk mengatasi diri pada saat ini dan membawanya melampaui batas-batas pengetahuan dan pengalaman untuk ditempatkan dalam konteks yang lebih luas; sesuatu yang memberi kesadaran tentang sesuatu yang luar biasa dan tak terbatas, baik itu sesuatu di dalam diri maupun di dunia sekitar. Transendensi boleh dikaitkan dengan Tuhan; boleh juga dikaitkan dengan pengalaman mistik; boleh juga untuk merasakan keindahan bunga, menikmati alunan musik, atau senyuman innocent dari seorang bayi.
                Konsep Tuhan yang diwakili oleh pemahaman tentang “God Spot” dianggap sebagai kondisi perlu (necessary condition), bukan kondisi cukup (sufficient condition) bagi SI. Seseorang yang ber-SI tinggi mungkin tinggi pula beraktivitas yang berkaitan dengan God Spot namun tidak serta merta ia memiliki SI tinggi; karena untuk mencapai predikat orang yang ber-SI tinggi ia harus mampu mengintegrasikan seluruh bagian otaknya, seluruh aspek dirinya, dan seluruh aspek kehidupannya. Wawasan dan abilitas tentang God Spot harus dipadukan dengan emosi, motivasi, dan potensi kemudian membawanya dalam dialog dengan pusat diri.
                Sebenarnya bila ditilik lebih lanjut pengaruh agama tentang Tuhan sebenarnya juga masuk dalam konsep SI Zohar dan Marshall, hanya saja konsep-konsep tersebut merujuk pada mitos-mitos agama-agama kultur (culture/natural religion) – agama hasil budaya manusia (agama ardhi/thabi’i) - seperti mitologi astrologi tentang asal usul manusia dalam agama Romawi dan Yunani; mitologi cakra sebagai gambaran tahapan perkembangan jiwa dalam “mengada” dan “menjadi” dalam agama Hindu; filosofi-filosofi dalam Tao Te Ching; juga dari pemikiran-pemikiran ahli mistik agama Kristiani dan Yahudi yang menyatakan bahwa pusat jiwa adalah Tuhan dan mengenal diri sendiri akan mengenal Tuhan.
                Jadi menurut pandangan Zohar dan Marshall sumber segala inspirasi SI/SQ adalah “tuhan” di mana dia adalah transenden dalam diri manusia itu sendiri yang kreatif, “tuhan” dapat diciptakan dalam diri manusia dan menjadi pusat segalanya. Ini bermakna semua kembali pada manusia itu sendiri sebagai sebuah anthropos (asal-usul) dan spiritus kehidupan. Di sini definisi SI dalam perspektif antroposentrisme mendudukkan SI pada tempat yang paling tinggi di atas kecerdasan-kecerdasan yang lain, bahkan menjadi pusat dan puncak segala kecerdasan dengan menjadikan manusia dan kreativitasnya dalam memecahkan masalah nilai sebagai sumber inspirasi dan inti transendensi. SI merupakan kemampuan manusia untuk mencapai hidup bermakna, penuh ketenangan dan kebijaksanaan dalam hubungannya dengan semesta alam melalui evolusi pengalaman mistik dengan “tuhan” yang ada dalam diri pribadi yang paling dalam.
                Paham antroposentrisme di atas tentu saja sangat bertentangan dengan paham Theosentrisme dalam memandang SI. Menurut Theosentrisme Tuhan merupakan The central aspect bagi kehidupan manusia. Konsep SI merupakan doktrin-doktrin Tuhan dalam ajaran agama wahyu atau agama kenabian (Yahudi, Kristen, dan Islam). Dalam ajaran Theosentrisme (Islam misalnya) manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki keunikan dan keistimewaan tertentu. Sebagai salah satu makhluk-Nya karakteristik eksistensi manusia harus dicari dalam relasi dengan Sang pencipta dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Sekalipun manusia seolah-olah merupakan pusat hubungan-hubungan (center relatedness), namun dalam jaran Islam pusat segalanya bukanlah manusia, melainkan Sang pencipta sendiri, Yaitu Allah Rabuul ‘alamin. Dengan demikian landasan filsafat tentang manusia dan SI dalam ajaran Islam bukan Antroposentrisme melainkan Theosentrisme atau lebih tepat Allahsentrisme (Bastaman, 1995) dalam Daris Tamin (2009).
                Dalam Islam spiritualitas tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai agama yang terikat dengan Ketuhanan. Spiritual keagamaan tidak menganggap manusia adalah pusat segala-galanya, tidak dapat menuhankan segala sesuatu selain Tuhan Sang pencipta jagad raya dengan segala isinya, apalagi menuhankan diri manusia itu sendiri. Secara naluriah manusia mengakui keberadaan Tuhan Sang Pengatur kehidupan. Manusia dan makhluk lainnya sangat tergantung secara transcendental kepada Tuhan. Inilah sifat dari kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual selalu berkaiatan dengan agama, dan ini juga telah diakui oleh dunia internasional (WHO,1994).


                WHO telah memasukkan agama (kerohanian/spiritual) sebagai salah satu pilar kesehatan selain jasmani/fisik, kejiwaan/psikologik, dan social. Keempat dimensi kesehatan ini pula telah diadopsi oleh The American Psychiatric Association dengan paradigm pendekatan bio-psycho-social-spiritual, yang dilandasi oleh pengakuan dan keyakinan bahwa agama/spiritual adalah fithrah yang mengandung nilai-nilai moral, etika, dan hukum. Ini bermakna seseorang yang taat hukum berarti bermoral dan beretika; seseorang yang bermoral dan beretika berarti ia beragama (no religion without moral, no moral without law).

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)