MATERI 3 : Hakikat Berpuasa

Inilah yang diingatkan oleh banyak hadits yang mulia tentang hakikat puasa. Rasulullah saw bersabda, “Ash shiyamu junnatun, faidza kana yaumu shaumi ahadikum fala yarfuts wala yashkhab –wa fi riwayatin – wala yajhal fainimru-un sa-bahu aw qatalahu fal yaqul inni shaimun” (Puasa adalah perisai. Apabila seseorang di antara kalian berpuasa, janganlah berkata kotor dan tidak berguna –dalam riwayat lain: jangan bicara jahil. Dan jika seseorang memaki atau mengajaknya bertengkar, katakanlah,” Saya tengah berpuasa (dua kali)”. (HR. Bukhari dan Muslim). 

Rasulullah saw bersabda, ”Man lam yada’ qaulaz zur wal ‘amala bihi falaisa lillahi hajatun fi an yada’a tha’amahu wa syarabahu” (Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata palsu dan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya). (HR. Bukhari).

Beliau saw juga bersabda, “Rubba shaimin laisa lahu min shiyamihi illal ju-‘i” (Betapa banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan dari puasanya selain rasa lapar). (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Riwayat Ahmad, Hakim, dan Baihaki dengan redaksi, “Betapa banyak orang berpuasa namun hasilnya hanya lapar dan dahaga”).    

Khalifah Umar bin Khattab berkata, ”Puasa bukanlah dari makan dan minum semata, tetapi juga dari dusta, kebathilan, dan tindak sia-sia.”

Jabir bin Abdullah Al Anshari berkata, “Apabila engkau berpuasa, berpuasalah pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari dusta dan dosa. Janganlah menyakiti pembantumu. Hendaklah engkau berpenampilan tenang dan wibawa di hari puasamu. Janganlah engkau jadikan hari berbukamu sama saja dengan hari berpuasamu.”

Thaliq bin Qais meriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata, “Jika engkau berpuasa, jagalah diri sebisamu”. Thaliq, di hari puasanya, berdiam diri di rumahnya dan tidak keluar selain untuk mengerjakan shalat (di mesjid).

Abu Hurairah dan sahabat yang lain bila tengah berpuasa, mereka duduk dzikir di mesjid. Mereka berkata, “Untuk menyucikan puasa kami.”

Hafshah binti Sirin, salah seorang tabiin, berkata,” Puasa adalah perisai, selama tidak dibakar oleh pelakunya atau dibakar oleh ghibah.”

Dari Maimun bin Mahran, ia berkata, “Seringan-ringannya puasa adalah meninggalkan makan dan minum.”
Namun demikian, menurut jumhur ulama, kemaksiatan tidak membatalkan pusa, meskipun ia mengotori dan melukainya, sesuai dengan kadar kemaksiatan yang dilakukan. Demikian itu karena tiada seorang pun yang bisa lolos dari maksiat –kecuali orang yang dilindungi oleh Allah SWT – khususnya kemaksiatan lisan. Dari itu Imam Ahmad mengatakan, “Andaikata ghibah membatalkan puasa, niscaya kita tidak dapat berpuasa.”

Ulama yang lain menguatkan pandangan ini, “Bahwa kemaksiatan tidak membatalkan puasa sebagaimana makan dan minum, namun ia terkadang menghilangkan pahalanya.” Sesungguhnya ini merupakan suatu kerugian, bukan masalah remeh bagi mereka yang berakal, dan tidak menganggapnya remeh selain orang bodoh. Bagaimana tidak demikian, ia menahan lapar, dahaga, dan syahwat, kemudian keluar di penghujung Ramadhan dengan tangan hampa dari kebaikan.

Menerangkan hadits , “Man lam yada’ qaulaz zuri wal ‘amala bihi fa laisa lillahi hajatun fi an yada’a tha’amahu wa syarabahu”, Imam Abu Bakar bin al Arabi berkata,” Kandungan hadits ini adalah bahwa barangsiapa melakukan apa yang disebutkan itu, puasanya tidak berpahala. Artinya, pahala puasa kalah timbangannya dengan dosa dusta dan hal lain yang disebutkan bersamanya.”

Al Allamah al Baidhawi berkata, ”Bukanlah maksud dari disyariatkannya puasa hanya berhubungan dengan lapar dan dahaga. Tetapi yang menjadi turunannya adalah menahan syahwat dan menaklukkan an nafs al amarah (nafsu amarah) menjadi an nafs al muthmainnah. Bila hal itu tidak dapat dihasilkan, maka Allah tidak memandang puasanya dengan pandangan penerimaan. Maka rasul bersabda, Allah tidak butuh… sebagai kiasan tidak diterimanya puasa. Sebabnya dinafikan, tetapi yang dimaksud adalah akibat.”

Barangsiapa berpuasa dengan penuh iman dan mengharap pahala Allah, maka ia berhak untuk keluar dari bulan puasa itu dalam keadaan diampuni dan suci dari dosa, khususnya dosa-dosa kecil yang terkadang tidak disadari oleh pelakunya, dan ia tidaklah tahu bahwa jika dosa-dosa itu semakin bertambah banyak, maka akan menghancurkan dan membinasakan pelakunya.

Rasulullah saw bersabda, “Ash-shalawatul khamsu wal jumu’atu ilal jumu’ati wa ramadhanu ila ramadhana mukaffiratun lima bainahuma idza tunibatil kaba-ir” (Shalat lima waktu, Jumat ke Jumat, Ramadhan ke Ramadhan, adalah penghapus dosa di antaranya, jika dosa-dosa besar dijauhi). (HR. Muslim).

Dalam hadits mutaffaq alaih dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Man shama ramadhana imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqadama min dzambihi” (Barangsiapa mengerjakan puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu).

Karena itu, barangsiapa mengotori puasanya dengan kemaksiatan telinga, penglihatan, lisan, dan anggota tubuhnya, berarti ia telah menyia-nyiakan kesempatan untuk penyucian dirinya dan tidak berhak mendapatkan ampunan yang dijanjikan. Bahkan lebih dari itu, tertimpa apa yang menjadi tema doa malaikat Jibril dan diamini oleh Nabi Muhammad saw, yaitu, “Man adraka ramadhana falam yughfar lahu fa-ab’adahullahu” (Barangsiapa mendapatkan Ramadhan tetapi dosanya tidak diampuni, maka Allah menjauhinya). (HR. Ibnu Hibban dalam Sahih-nya dari Hasan bin Malik bin Huwairits dari ayahnya dari kakeknya. Ada juga riwayat serupa dari Abu Hurairah dan Ka’ab bin Ujrah). Semoga Allah SWT menguatkan hati dan semangat kita agar tidak mudah tergelincir berbuat maksiat terutama di bulan Ramadhan ini.

Mengapa Al-Qur’an mewajibkan puasa?
Di dalam al-Quran, penjelasan mengenai hukum puasa Ramadhan terangkum dalam beberapa ayat dalam surah al-Baqarah, adapun ayat-ayat dalam surah lainnya semata menjelaskan mengenai pembagian puasa yang telah disyariatkan dalam Islam.

Ayat-ayat yang menunjukkan akan puasa Ramadhan seluruhnya terdapat dalam surah al-Baqarah, setidaknya ada tiga ayat yang berbicara mengenai ibadah agung ini yang letaknya saling berdampingan. Dalam tulisan singkat ini, kami mencoba menyoroti ketiga ayat tersebut:

Ayat pertama:
یا ایها الذین آمنوا کتب علیکم الصیام کما کتب علی الذین من قبلکم لعلکم تتقون

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183)

Menurut pandangan para ahli tafsir dan ululmul qur’an, ayat-ayat yang permulaannya menggunakan frasa “Wahai orang-orang yang beriman” diturunkan di kota Madinah dan surahnya dikatagorikan sebagai surah Madaniah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kewajiban puasa —sebagaimana kewajiban zakat dan berjihad—disyariatkan pada tahun kedua Hijriah.

Ayat di atas dengan jelas menyampaikan kepada kaum beriman akan kewajiban lain yang harus mereka tunaikan yang termaksud salah satu ibadah terpenting dalam agama Islam, kewajiban tersebut tidak lain ialah puasa di bulan Ramadhan. Ayat ini diawali dengan seruan “Wahai orang-orang yang beriman” yang bertujuan melunakkan hati kaum muslimin sehingga mereka dengan mudah dapat menerima syariat baru tersebut. Dalam hal ini Imam Jakfar as-Shadiq as mengatakan bahwa indahnya seruan ini telah menghilangkan kesukaran dalam menjalankan perintah puasa.

Selanjutnya ayat di atas menyebutkan bahwa ibadah puasa bukan hanya diwajibkan bagi umat masa ini, akan tetapi ia juga telah diwajibkan bagi umat-umat terdahulu, hal ini disampaikan salahsatunya juga dalam rangka menghilangkan kesukaran dalam hati kaum muslimin dalam melaksanakan ibadah puasa,

Berdasarkan penelitian, terbukti bahwa ritual puasa telah ada dalam tradisi umat-umat terdahulu bahkan pada umat penyembah berhala sekalipun, mereka melakukan puasa guna mendekatkan diri kepada berhala-berhala, dan hingga saat ini pun, ritual tersebut masih dapat kita saksikan dalam ritual orang-orang Hindu yang melakukan puasa pada waktu-waktu tertentu.

Ritual puasa juga terdapat dalam syariat umat Yahudi, Nashrani dan Shabiin, hal ini dapat kita saksikan dan Injil yang ada saat ini yang mendeskripsikan puasa sebagai amalan yang terpuji seraya mengabarkan akan puasa yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Isa as. Adapun dalam al-Quran, kita dapat temukan ayat yang menceritakan akan nadzar sayyidah Maryam yang dilakukannya dengan berpuasa.“Jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.” (Q.S. Maryam: 26)

Tentunya puasa yang dilakukan Maryam as adalah berdiam diri atau puasa dari berbicara dengan orang lain, dimana amalan ini merupakan salah satu dari bentuk puasa. Adapun puasa yang dilakukan oleh nabi Musa dan Isa as adalah puasa sebagaimana yang umumnya difahami, yaitu menahan dari dari makan, minum dan sesuatu yang membatalkan.

Di akhir ayat, dengan isyarah pendek Allah Swt menjelaskan falsafah disyariatkannya puasa, yaitu guna meraih ketakwaan. Yaitu dengan menahan dari dari sebagain kenikmatan jasmani demi melaksanakan perintah Ilahi, seorang telah melatih dirinya untuk munundukkan hawa nafsunya. Latihan ini dilakukan selama satu bulan sehingga berpotensi menumbuhkan ketakwaan dalam dirinya yang akan menjadikannya mampu dengan mudah meninggalkan perbuatan dosa, memakan dan melanggar hak orang lain kendati perbuatan itu sejalan dengan kepentingannya. Dengannya ia memiliki power guna mengotrol hawa nafsunya sehingga tunduk di bawah kendalinya dan bergerak sesuai perintah Allah Swt

Ayat kedua:
«ایاما معدودات فمن کان منکم مریضا او علی سفر فعده من ایام اخر و علی الذین یطیقونه فدیه طعام مسکین فمن تطوع خیرا فهو خیر له و ان تصوموا خیر لکم ان کنتم تعلمون.
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 184)

Setelah menjelaskan mengenai hukum dan falsafah puasa, pada bagian selanjutnya, Allah Swt menyampaikan beberapa aturan ibadah puasa yang dengannya dapat meringankan beban umat dalam menjalankan ibadah tersebut, di antaranya ialah:

1. Puasa yang diwajiban bagi kaum muslimin bukanlah puasa sepanjang tahun, akan tetapi puasa itu hanya diwajibkan dalam beberapa hari.
2. Puasa tidak diwajibkan bagi mereka yang sakit atau dalam perjalanan (musafir), bagi mereka yang berhalangan, hendaknya mengqadha puasa mereka pada hari-hari lainnya di luar bulan Ramadhan.
3. Bagi mereka yang tidak mampu melakukan puasa, baik mereka yang sakit, orang tua, ibu hamil dan menyusui, maka mereka tidak lagi diwajibkan berpuasa, dan sebagai gantinya mereka harus membayar fidyah atau kafarah. Kadar satu fidyah ialah memberi makan seorang fakir miskin hingga ia merasa kenyang untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan, namun jika seorang hendak membayar fidyah lebih dari kadar yang ditentukan, maka akan menjadi lebih baik.

Pada bagian akhir ayat, Allah kembali mengingatkan bahwa ibadah puasa banyak mengandung manfaat dan kebaikan bagi manusia, sehingga seandainya seorang mengetahuinya, maka ia tidak akan meninggalkan atau merasa berat melakukannya, bahkan sebaliknya ia akan menjalankannya dengan antusias dan penuh ketulusan.

Ayat ketiga:

شهر رمضان الذی انزل فیه القرآن هدی للناس و بینات من الهدی و الفرقان فمن شهد منکم الشهر فلیصمه و من کان مریضا او علی سفر فعده من ایام اخر یدید الله بکم الیسر و لا یرید بکم العسر و لتکلموا العده و لتکبرو الله علی ما هدکم و لعلکم تشکرون.

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. al-Baqarah: 185)

Ayat ini memberikan batasan bahwa beberapa hari yang diwajibkan puasa adalah hari-hari pada bulan Ramadhan, bulan yang mulia dan penuh berkah karena di bulan ini lah kitab suci al-Quran telah diturunkan, kitab yang menjadi sumber hidayah bagi seluruh umat manusia. Dengannya, manusia dapat berjalan di jalan yang lurus hingga mampu menggapai hakikat dan kebahagiaan. Sungguh bulan ini memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya.

Di akhir ayat ini, Allah Swt kembali menegaskan bahwa disyariatkannya puasa bukanlah untuk memberatkan manusia, namun dikarenakan manfaat besar yang terkandung di dalamnnya, sesunguhnya Allah menginginkan kemudahan bagi mereka. Oleh karenanya ada tiga hal yang hendaknya dilakukan seorang mukmin:

1. Hendaknya ia menyempurnakan hari-hari Ramadhan dengan puasa, namun jika ia sakit atau dalam perjalanan, maka hendaknya ia berbuka dan mengqadha puasanya di hari-hari lain.
2. Dikarenakan petunjuk yang telah diberikan Allah Swt kepadanya, maka hendaknya seorang mukmin mengumandangkan takbir kepada-Nya.
Kemungkinan yang dimaksud takbir di sini adalah takbir yang diucapkan saat shalat Iedul Fitri atau saat shalat sunnah yang dilakukan setelah shalat-shalat wajib di hari raya tersebut.
3. Seorang mukmin hendaknya selalu bersyukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya, khususnya nikmat disyariatkannya puasa Ramadhan yang sarat dengan kemuliaan dan keagungan.

1.Tujuan puasa

Tujuan ibadah puasa adalah menahan nafsu dari berbagai syahwat,sehingga kita siap mencari sesuatu yang menjadi puncak kebahagiaan ,menerima sesuatu yang mensucikan ,yang di dalamnya terdapat kehidupan yang abadi ,mematahkan permusuhan nafsu terhadap lapar dan dahaga serta mengingatkan kita kepada keadaan orang orang yang menderita kelaparan di antara orang-orang miskin ,menyempitkan jalan setan pada diri kita dengan menyempitkan jalan setan pada diri kita dengan menyempitkan jalan alairan makanan dan minuman ,puasa adalah untuk Tuhan semesta alam,tidak seperti alairan-aliran lain .Puasa berarti meninggalkan dengan segala yang dicintai karena kecintaan kita kepada Allah Swt.puasa merupakan rahasia hamba dan Tuhannya .


2.Manfaat Puasa.
Puasa memiliki beberapa manfaat ditinjau dari segi kejiwaan sosial dan kesehatan,di antaranya ,Puasa secara kejiwaan memiliki beberapa manfaat di antaranya:membiasakan kesabaran,menguatkan kemauan,mengajari dan membantu bagaimana menguasai diri,saat mewujudkan dan berbentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri ,yang ini merupakan hikmah puasa yang paling utama ,jika sudah demikian maka otomatis orang yang rajin berpuasa wajib dan sunnah akan terpancar kecantikan jiwa.

Puasa secara sosial bermanfaat untuk membiasakan umat berlaku disiplin,bersatu,cinta keadilan,dan persamaan,juga melahirkan perasaan kasih sayang dalam diri orang-orang beriman dan mendorong mereka berbuat kebijakan ,selain itu,berpuasa dapat menjaga masyarakat dari kejahatan dan kerusakan.

Sedangkan puasa ditinjau dari segi kesehatan adalah untuk membersikan usus ,memeperbaiki kerja percernaan ,membersihkan tubuh dari sita-sisa endapan makanan mengurangi kegemukan dan kelebiha lemak di perut.

Termasuk manfaat puasa adalah mematahkan nafsu,karena kelebihan baik dalam makan maupun minum serta berhubungan suami istri,bisa mendorong nafsu berbuat kajahatan,enggan mensyukuri nikmat,serta mengakibatkan kelengahan.

Orang kaya menjadi tau seberapa nikmat Allah atas dirinya Allah mengarunianinya nikmat tak terhingga sementara pada saat yang sama pula banyak orang miskin yang tak mendapatkan sisa_sisa makanan ,minuman dan tidak pula menikah ,dengan terhalangnya dia menikmati hal-hal tersebut pada saat-saat tertentu ,serta rasa berat yang ia hadapi karenanya ,keadaan itu akan mengingatkannya pada orang-orang yang kurang beruntung ,ini mengharuskan mensyukuri nikmat Allah atas dirinya berupa kecukupan ,juga menjadikannya berbelas kasih kepada saudaranya yang memerlukan dan mendorongnya untuk membantu mereka .


Makna Spiritual dan Sosial Ibadah Puasa
Tulisan ini bisa dimulai dari perspektif Rukun Islam. Dari syahadah hingga menunaikan haji di rumah suci Allah. Kita mencoba menjelaskan satu per satu maqam Rukun Islam tersebut. Dan, pada akhirnya, kita akan melihat maqam ibadah puasa, yang menjadi topik bahasan tulisan ini. Apakah maqam-maqam itu saling terkait, atau tidak?

‘Alamat’ dan ‘Jurusan’
Syahadah. Salah satu Rukun Islam berarti ketetapan dan penetapan titik pijak dan sekaligus arah tujuan gerak kehidupan manusia Muslim. Semacam ‘alamat’ dan ‘jurusan’. Pertama barangkali pada spektrum kosmologis kemudian teologis, baru kemudian kedua kultural.

Pandangan tentang ‘sangkan paran’, semacam alamat historis-kosmologis, menurut manusia untuk (melalui akal pikiran maupun melalui informasi wahyu, mawaddah wa rahmah, juga huda, bayyinat, wa furqan) menentukan alamat teologis (atau a-teologis)nya. Berdasarkan itu maka ia berangkat merumuskan alamat sosialnya, alamat kulturalnya, juga mungkin alamat politiknya, bahkan bukan tidak mungkin juga alamat geografisnya. Dengan itu, beda pandang manusia mengenai dunia, akhirat, dan tentang dunia akhirat menjadi terumuskan.

Menduniakan Akhirat, Mengakhiratkan Dunia, dan Mendunia-akhiratkan Kehidupan
Pada budaya dan perilaku manusia beserta sistem nilai yang disusun dalam kolektivitas mereka, ada yang memandang dunia ini sebagai tujuan. Seluruh aktivitas pribadi, gerakan sosial, pengorganisasian kekuasaan dan kesejahteraan di antara mereka, dilaksanakan dengan mengandaikan bahwa dunia ini adalah wadah satu-satunya dari segala awal dan segala akhir.

Wadahnya hanya dunia. Substansinya hanya dunia. Metodenya hanya dunia. Dan, targetnya juga hanya dunia. Orang lahir, orang bersekolah, orang bekerja, orang berkuasa, orang berkarier, dalam ‘durasi’ dunia.
Segala sesuatunya akan berbeda dengan pandangan lain yang meletakkan dunia sebagai titik tolak dan titik pijak untuk melangkah ke akhirat. Sejarah di dunia dikerjakan sebagai jalan (syari’, thariq, shirath), dan produknya adalah akhirat. Setiap kegiatan dan fungsi manusia dalam sejarah, selama dunia berlangsung, berlaku sebagai metoda. Berkedudukan tinggi, berjaya, unggul, atau menang di antara manusia, tidak dipahami sebagai neraka. Sebab surga dan neraka adalah produk dari penyikapan (teologis, moral, kultural) manusia atas semua keadaan tersebut.

Dalam hal ini belum akan kita perdebatan tentang apakah dunia dan akhirat itu diwadahi oleh dua satuan waktu yang berbeda, atau terletak pada rentang waktu yang sama, yang dibatasi oleh momentum yawm al-qiyamah, ataukah dunia dan akhirat itu sesungguhnya berlangsung sekaligus.

Ikrar teologis (yang beraktualisasi kultural) yang dilaksanakan melalui syahadatain, ibadah lain serta ‘syariat’ hidup secara menyeluruh adalah suatu pengambilan sikap, suatu pilihan terhadap pandangna atas dunia dan akhirat. Dengan pijakan sikap ini manusia menggerakkan aktivitas sosialnya, melaksanakan upaya-upaya hidupnya, serta menja-dikannya sebagai pedoman di dalam memandang, menghayati dan memperlakukan apapun saja dalam hidupnya.

Tidak termasuk dalam katagori ini pola sikap manusia yang dalam bersyahadat seakan-akan mengambil keputusan teologis yang memetodekan dunia untuk target akhirat, namun dalam praktiknya ia lebih cenderung meletakkan dunia sebagai target dan tujuan.

Kerancuan sikap semacam ini bisa dilatarbelakangi oleh semacam kebutaan (spiritual), oleh inkonsistensi (mental), oleh kemunafikan (moral), atau oleh tiada atau tidak tegaknya pengetahuan (intelektual). Yang terjadi padanya adalah kecenderungan menduniakan akhirat. Sementara pada manusia yang dalam konteks tersebut tercerahkan spiritualitasnya, yang konsisten sikap mentalnya, yang teguh moralnya, dan yang tegak pengetahuannya- kecenderungannya adalah mengakhiratkan dunia, atau dari sisi lain ia bermakna menduniaakhiratkan kehidupan.

Evolusi Salat dan Idul Fitri-Idul Fitri Kecil
Salat. Ibadah Salat merupakan suatu metode ‘rutin’ kultural untuk proses pengakhiratan. Momentum-momentum salatlima waktu memungkinkan manusia pelakunya untuk secara berkala melakukan pengambilan ‘jarak dari dunia’.

Itu bisa berarti suatu disiplin intelektual untuk menjernihkan kembali persepsi-persepsinya, untuk memproporsionalkan dan mensejatikan kembali pandangan-pandangannya terhadap dunia dan isinya, sekaligus itu bermakna ia menemukan kembali kefitrian-diri-kemanusiaan. Salat dengan demikian adalah idul fitri-idul fitri kecil yang bersifat rutin. Sekurang-kurangnya salat mengandung potensi untuk membatalkan atau mengurangi keterjeratan oleh dunia. Ini sama sekali bukan pandangan antidunia. Yang saya maksud, sebagai substansi, target, titik berat atau tujuan kehidupan.

Ibadah salat dengan demikian adalah suatu transisi sistem yang terus-menerus mengingatkan dan mengkodisikan pelakunya yang memelihara sikap mengakhiratkan dunia atau menduniaakhiratkan kehidupan. Ibadah salat menawarkan irama, yaitu proporsi kedunia-akhiratan yang dialektis berlangsung dalam kesadaran, naluri dan perilaku manusia.

Kalau kita idiomatikkan bahwa salat itu bermakna pencahayaan (‘air hujan’, salah satu jenis air yang disebut oleh al-Qur’an), maka jenis ibadah berkala ini berfungsi mencahayai dan mencahayakan kehidupan pelakunya. Mencahayai dalam arti menaburkan alat penjernihan diri dan persepsi hidup. Mencahayakan dalam arti memberi kemungkinan kepada pelakunya untuk bergerak dari konsentrasi kuantitas (benda, materi) menuju dinamika kreativitas (energi) sampai akhirnya menuju atau menjadi kualitas cahaya (Allahu nur al-samawat wa al-ardl).

Ibadah salat bersifat kumulatif dan evolusioner, sebagimana zakat yang berlambangkan susu (jenis air lain yang disebut oleh al-Qur’an). Kambing tidak meminum susunya sendiri, melainkan mendistribusi-kannya kepada anak-anak dan makhluk lain. Etos zakat adalah membersihkan harta perolehan manusia. Membersihkan artinya memproporsikan letak hak dan wajib harta. Manusia tidak memberikan zakat, melainkan membayarkan atau menyampaikan hak orang atau makhluk lain atasnya.

Revolusi Puasa, Melampiaskan dan Mengendalikan
Puasa. Berbeda dengan salat dan zakat, ibadah puasa bersifat lebih ‘revolusioner’ radikal dan frontal. Waktunya pun dilakukan pada masa yang ditentukan, seperti disebutkan al-Qur’an. Dan, waktu puasa wajib sangat terbatas. Hanya pada bulan Ramadhan.

Orang yang berpuasa diperintahkan untuk berhadapan langsung atau meng-engkau-kan wakil-wakil paling wadag dari dunia dan diinstruksikan untuk menolak dan meninggalkannya pada jangka waktu tertentu.

Pada orang salat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di sisinya, namun sebagian ia pilah untuk dibuang. Sementara pada orang berpuasa, dunia ada di hadapannya namun tak boleh dikenyamnya.

Orang berpuasa disuruh langsung berpakaian ketiadaan: tidak makan, tidak minum, dan lain sebagainya. Orang berpuasa diharuskan bersikap ‘tidak’ kepada isi pokok dunia yang berposisi ‘ya’ dalam substansi manusia hidup. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi; dan itu adalah perang frontal terhadap sesuatu yang sehari-hari meru-pakan tujuan dan kebutuhan.

Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menum-pahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita bertemu dengan tesis ini; ekonomi-industri-konsumsi itu mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara agama mengajak manusia untuk menahan dan mengendalikan. Keduanya merupakan musuh besar, dan akan berperang frontal jika masing-maisng menjadi lembaga sejarah yang sama kuat.

Sementara ibadah haji adalah puncak ‘pesta pora’ dan demonstrasi dari suatu sikap, pada saat dunia disepelekan dan ditinggalkan. Dunia disadari sebagai sekadar seolah-olah megah.

Ibadah thawaf adalah penemuan perjalanan sejati sesudah seribu jenis perjalanan personal dan personal yang tidak menjanjikan kesejatian dan keabadian. Nanti kita ketahui gerak melingkar thawaf adalah aktualisasi dasar teori inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Suatu perjalanan nonlinier, perjalanan melingkar perjalanan siklikal, perjalanan yang ‘menuju’ dan ‘kembali’nya searah.

Ihram adalah ‘pelecehan’ habis-habisan atas segala pakaian dan hiasan keduniaan yang palsu status sosial, gengsi budaya, pangkat, kepemilikan, kedudukan, kekayaan, atau apapun saja yang sehari-hari diburu oleh manusia. Sehabis berihram mestinya sang pelaku mengerti bahwa nanti kalau ia pulang dan hadir kembali ke kemegahan-kemegahan dunia–tak lagi untuk disembahnya atau dinomorsatukannya. Karena ihramlah puncak mutu dan kekayaan.

Tauhid Vertikal dan Tauhid Horisontal
Adapun apa, ke mana, dan bagaimanakah sesungguhnya yang dijalani oleh para pelaku Rukun Islam, terutama yang ber’revolusi’ dengan puasa?

Pilar utamanya adalah tauhid vertikal (tawhid ilahiyyah) dan tauhid horisontal (tawhid basyariyyah). Tauhid itu proses penyatuan. Penyatuan (ilahiyyah) ke atau dengan Allah, serta penyatuan ke atau dengan sesama manusia atau makhluk, memiliki rumus dan formulanya sendiri-sendiri.

Perlawanan terhadap dunia, penaklukan atas diri dan kehidupan untuk diduniaakhiratkan yang ditawarkan oleh ibadah puasa–sekaligus berarti proses deindividualisasi, bahkan deeksistensialisasi. Tauhid adalah perjalanan deeksistensialisasi, pembebasan dari tidak pentingnya identitas dan rumbai-rumbai sosial keduniaan di hadapan Allah. Segala kedudukan, fungsi dan peran di dunia dipersembahkan atau dilebur ke dalam eksistensi sejati Allah dan kasih sayang-Nya. Tauhid sebagai perjalanan deindividualisasi berarti menyadari dan mengupayakan proses untuk larut menjadi satu atau lenyap ke dalam wujud-qidam-baqa’ Allah. Manusia hanya diadakan, diselenggarakan seolah-olah ada, ada-nya palsu–oleh Yang Sejati Ada.

Yang juga ditawarkan oleh puasa adalah proses dematerialisasi, atau peruhanian atau dalam konteks tertentu pelembutan dan peragian. Dematerialisasi bisa dipahami melalui, umpamanya, konteks peristiwa Isra’ Mi’raj. Rasulullah mengalami proses transformasi dari materi menjadi energi menjadi cahaya. Maka, dematerialisasi vertikal bisa berarti mempersepsikan, menyikapi dan mengolah materi (badan, pemilikan, dunia, perilaku, peristiwa) untuk dienergikan menuju pencapaian cahaya. Fungsi sosial dikerjakan, managemen dijalankan, musik diciptakan, karier ditempuh, ilmu digali dan buku dicetak, uang dicari dan harta dihamparkan–tidak dengan orientasi ke kebuntuan dunia sebagai materi yang fana, melainkan digerakkan ke makna ruhani, pengabdian dan taqarrub kepada Allah, sampai akhirnya masuk dan bergabung ke dalam ‘kosmos’ dan sifat-Nya.

Proses dematerialisasi, proses ruhanisasi atau proses transformasi menuju (bergabung, menjadi) Allah, meminta hal-hal tertentu ditanggalkan dan ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari orang bilang: jangan mati-matian mencari hal-hal yang tidak bisa dibawa mati.

Menanggalkan dan meninggalkan itu mungkin seperti perjalanan transformasi padi menjadi beras, dan menjadi nasi. Padi menjadi beras dengan menanggalkan kulit. Beras juga padi, tapi beras bukan lagi padi, sebagaimana padi belum beras. Nasi itu substansinya padi atau beras, tapi sudah melalui proses suatu pencapaian transformatif.Parapemakan nasi tidak antipadi, tapi juga tidak makan padi dan menanggalkan kulit padi. Pemakan nasi sangat membutuhkan beras, tapi tidak makan beras dan tidak membiarkan beras tetap jadi gumpalan keras. Pemakan nasi memproses bahan dan substansi yang sama menjadi atau menuju sesuatu yang baru.

Jadi, jika pemburu atau pengabdi Allah tidak antidunia, tidak antimateri, tidak antibenda, tapi juga tidak menyembah benda, melainkan mentransformasikan (mengamalsalehkannya), meruhanikannya (menyaringnya menjadi bermakna akhirat). Bahkan manusia akan menanggalkannya dan meninggalkan dirinya sendiri (gumpalan individu, wajah, badan, performance, eksistensi dunia), karena ‘dirinya’ di akhirat, dirinya yang bergabung ke Allah adalah sosok amal salehnya.

Pada ‘citra’ waktu, dematerialisasi, peruhanian, deindividualisasi, dan deeksistensialisasi berarti pengabdian. Pembebasan dari kesementaraan. Yang ditanggalkan dan ditinggalkan adalah kesementaraan. Segumpal tanah bersifat sementara, tapi ia difungsikan dalam sistem manfaat dan rahmat, maka fungsinya itu mengabdi. Sebagaimana gumpalan badan kita serta segala materi eksistensi kita bersifat sementara, yang menjadi abadi adalah produk ruhani pemfungsian atas semua gumpalan itu.

Melampiaskan dan Mengendalikan
Juga dalam proses tauhid horisontal, penyatuan berarti sosialisasi pribadi. Kalau masih pribadi yang individualistik (ananiyyah), ia gumpalan. Begitu integral-sosial (tawhid basyariyyah), ia mencair, melembut. Yang ananiyyah itu temporer dan berakhir, yang tauhid basyariyah itu baqa’ dan tak berakhir.

Identitas sosial, harta benda, individu, segala jenis pemilikan dunia, dienergikan, diputar, disirkulasikan, didistribusikan, dibersamakan atau diabadikan ke dalam keberbagian sosial. Itulah peruhanian horisontal.
Karena itu, proses-proses menuju keadilan sosial, kemerataan ekonomi, distribusi kesejahteraan, kebersamaan kewenangan dan lain sebagainya–sesungguhnya merupakan aktualisasi tauhid secara horisontal.

Kita tinggal memperhatikan setiap sisi, segmen dan lapisan dari proses sosial umat manusia (pergaulan, kebudayaan, negara, sistem, organisasi) melalui terma-terma materialisasi versus peruhanian, satu versus kemenyatuan, pensementaraan versus pengabdian, penggumpalan versus pelembutan, sampai akhirnya nanti pelampiasan versus pengendalian. Budaya ekonomi-industri-konsumsi kita mengajak manusia untuk melampiaskan. Sementara agama menganjurkan manusia untuk mengendalikan. Kalau kedua arus itu sama-sama menemukan lembaga dan kekuatan sejarahnya yang berimbang, konflik peradaban akan serius.

Ibadah puasa merupakan jalan ‘tol’ bagi perjuangan manusia untuk mencapai kemenangan di tengah tegangan-tegangan konflik tersebut. Juga dalam pergulatan antara iradah al-nas dalam arti individualisme individu-kecil dengan iradah Allah Individu Besar Total.

Kita bisa menolak ke terma sab’a samawat, tujuh langit– Roh-Benda-Tumbuhan-Hewan-Manusia- Ruhanisasi-Ruh– bisa kita temukan siklus-siklus kecil dan besar proses peruhanian yang diselenggarakan oleh manusia.

Atau terma Empat ‘Agama’–’agama’intuitif-instinktif, ‘agama’ intelektual, ‘agama’ wahyu, serta ‘agama atas agama’--kita bisa menemukan bahwa ketika penerapan wahyu –Agama terjebak menjadi berfungsi gumpalan-gumpalan, maka ‘agama atas agama’ merupakan fenomena peruhanian, kristalisasi substansi. Semua manusia bekerjasama menempuh nilai-nilai inti peruhanian yang mengatasi gumpalan-gumpalan aliran, sekte, kelompok, mazhab atau organisasi agama.

Terma lain yang mungkin bisa kita sentuh adalah cakrawala puasa la’allakum tattaqun. Produk maksimal puasa bagi pelakunya adalah derajat dan kualitas takwa. Dalam terapan empiriknya, kita mencatat stratifikasi fiqh/hukum-akhlak-takwa. Kondisi peradaban umat manusia masih tidak gampang untuk sekadar mencapai tataan manusia fiqh/hukum atau budaya fiqh/hukum. Apalagi naik lebih lagi ke level akhlak dan takwa

ILMU Rasulullah Muhammad, “hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”, telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa, ramadhan demi ramadhan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan hati harus saya katakan belum cukup mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu. Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum, kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya. Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita, bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan kearifan jiwa kita. Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi mahluk yang bernama manusia.

Tetapi, ilmu pun belumlah “langit” tertinggi dalam kosmos “ahsani taqwin” sebaik-baik mahluk –manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta. Cinta adalah rem, pembijak, pengarif, yang terkandang nikmat terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala mana pun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.

Adapun jika ilmu, jika penghayatan akan kebenaran, bersenyawa, bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan berkelangsungan intermanagable, atau dengan kata lain “bersuami-istri dengan hubb” atau cinta maka tercapailah tataran “taqwa”. Tanpa itulah target puasa. Taqwa itulah cakrawala perjalanan kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta.

Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Taqwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan “liga rabb”, yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina dina macam kita ini dengan Allah.

Sekarang bisalah kita membandingkan, apa beda kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang berpengetahuan, dengan jika ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau jika ia tergenggam di tangan orang yang bercinta saja dengan jika ia tergenggam di tangan orang yang bertaqwa. Kemudian gampanglah bagi kita untuk memproyeksikan: jika pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik, adalah modal dan peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja. Gampanglah kita perhitungkan: terjaditi kaman, siapa yang menikam dan yang tertikam, seberapa dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah mungkin berlangsung suatu ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah menikam, di mana ketajaman pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.

Makan yang sejati rasanya tak enak untuk memuji-muji Muhammad.Adasituasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut.

Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi semacam itu, saya harus pelit pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita tidak bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan bahwa arti harfiah kata “Muhammad” adalah juga yang terpuji.

Apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra “Ya Muhammad kekasih”, rasanya kosong, tak ada muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau pasti kecewa.

“Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang” adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi. Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut “diperbudak oleh perut”.

Parakoruptor kita gelari “hamba perut” yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi perutnya sendiri. Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang. Yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu, atau terkadang sejuta rupiah.

Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan, inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seanterokotadan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat. Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia.

Makan, yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya. Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur danperadaban, yang biayanya menjadi amat, sangat mahal.

Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.
Artifisialisasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang dan membunuh satu sama lain. Padahal perut hanya membutuhkan “makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”. Maka yang bernama “makan sejati” ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah “memberi makan kepada nafsu”. Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri.

Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam sejarah umat manusia maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan.

Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.


Kebutuhan Sejati
Aktivitas puasa selalu diartikan – dan memang benar demikian – sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang. Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.

Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan “tidak boleh makan” atau “tidak adanya makanan”, melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan lebih dari sekadar makanan.

Puasa adalah penguraian “nafsu” dari “makan”. Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk “tidak makan” jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk “tiak bernafsu makan”, terutama bagi para penghayat “makan yang sejati”.

Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar. Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas “makan” yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.

Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda “biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak overacting dan juga tidak underacting.

Padahal ilmu “makan sejati” atau “makan pas”-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan. Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita.

Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan. Program-program pembangunan kita memacu tahyul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen

Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahyul dan klenik.Parapasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli anggapan-anggapan tentang barang. Salah satu wajah dunia industri modern adalah tahyul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan hukum.

Ini adalah kata-kata “purba”, yang terasa lucu dan naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap orang – setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya –akan mendengar kata-kata semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.

Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apa pun saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan “lapar sejati”, bukan dalam keadaan “merasa lapas karena nafsu”. Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada “makan yang sejati”. Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli, ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya, bahwa itu semua adalah “makanan palsu”.

Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan. Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya

Puasa "Upaya Pembentukan Karakter"
"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang yang bertakwa." (QS. 2:183)

Ketika kita menyatakan bahwa diri kita beragama Islam, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, setelah itu dilakukan baru bisa disebut seorang Muslim. Ada 5 syarat yang wajib kita laksanakan sebagai bukti bahwa kita beragama Islam, salah satunya adalah melaksanakan Puasa Ramadhan. (yang lainnya adalah: mengucap dua kalima syahadat, sholat, zakat dan haji).

Puasa Ramadhan merupakan kewajiban rutin sebulan satu kali dalam setiap tahunnya yang dikerjakan oleh setiap umat Muslim. Kewajiban melaksanakan puasa ini dengan tegas dijelaskan oleh Allah dalam al-quran surat al-baqarah ayat 183-186. Bagi kita yang dilahirkan dari kalangan keluarga Muslim, melaksakan puasa ini bukanlah sesuatu hal yang asing lagi tapi sudah menjadi kegiatan rutinanitas setiap tahunnya. Hampir seluruh umat Islam bergembira menyambut momentum tersebut. Bagi yang berumur 40 tahun, berarti dia sudah diwajibkan melaksanakan puasa ramadhan sekitar 27 kali atau 26 kali, tergantung sejak mulai usia berap ia diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa tersebut.

Jika sudah sebanyak itu melaksanakan puasa ramadhan, maka muncul beberapa pertanyaan: apa yang kita dapat dari menjalankan ibadah puasa? apa hanya sekedar mendapat lapar dan haus saja? dan apa tujuan Allah memerintah puasa kepada kita? apa hanya sekedar sebatas kewajiban seorang hamba kepada khaliknya? atau ada tujuan lain dari perintah tersebut?

Sebenarnya, jika kita bisa cerdas memahami makna surat al-baqarah ayat 183 itu lebih dalam, maka secara otomatis pertanyaan diatas bisa terjawab. Dalam ayat tersebut ada beberapa kata kunci yang bisa kita lihat. Pertama: orang yang berimanKedua: diwajibkan atas kamu berpuasa, dan Ketiga: menjadi orang yang bertakwa. Jadi yang diwajib oleh Allah disini adalah orang yang beriman, (yaitu orang-orang yang percaya kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab, kepada Rasul, kepada hari kiamat dan kepada takdir) untuk melaksanakan puasa (yaitu orang-orang yang telah menjalankan rukun Islam) dan di akhir ayat, Allah mengatakan semoga menjadi orang yang bertakwa.

Sekarang mari kita lihat hubungan dari ketiga kata kunci tersebut, Ketika seseorang telah mengakui bahwa ia telah beriman maka secara otomatis ia akan melaksanakan puasa ramadhan karena puasa ramadhan merupakan perintah dari Allah yang dibawa oleh Rasul-Nya dan tertulis dalam kitab-Nya. Berarti hubungan sangat jelas sekali. Yang menjadi persoalan adalah apa hubungannya dengan takwa? apakah setelah seseorang menjalan puasa ramadhan, ia sudah bisa dikatakan bertakwa?
Sebelum dijawab pertanyaan ini, mari kita lihat sifat-sifat orang yang bertakwa dalam al-Qur'an. agar kita bisa tahu seperti apakah orang yang bertakwa itu. Dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat orang yang bertakwa, diantaranya
  1. al-Baqarah (2) : 177, sifat orang yang bertakwa adalah: Menepati janji, sabar, benar/jujur.
  2. Ali imran (3) : 102-103, sifat orang yang bertakwa adalah: menjalin siraturrahim, syukur, menjaga diri.
  3. Ali imran (3) : 133-135, sifat orang yang bertakwa adalah: Kepedulian sosial, mengendalikan diri (menahan amarah), pemaaf, berbuat kebaikan, bertaubat.
  4. al- Ahzab (33) : 35, sifat orang bertakwa adalah: taat, benar/jujur, sabar, khusyu', bersedekah (kepedulian sosial), memelihara diri, zikir
  5. di ayat-ayat lain mengatakan sifat orang bertakwa itu, ikhlas, tawadu', penyayang, tanggung jawab, amanah dan lain-lain
Maka dengan demikian, ketika Allah mewajibkan orang beriman untuk melaksanakan puasa khususnya puasa ramadhan seharus dapat melahir sifat-sifat di atas, bukan hanya sekedar sebatas kewajiban tapi yang paling penting adalah pembentukan karakter kejiwaan dengan menampilkan sifat-sifat tersebut dalam kehidupan sehari hari. Ramadhan merupakan "Madrasah Spiritual" karena di dalam pelaksanaan ibadah tersebut banyak mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam upaya pembentukan pribadi yang takwa. Jika ini semua bisa terbentuk maka apa yang diharapakan oleh Allah dalam surat al-baqarah ayat 183 bisa bisa terwujud. Akan tetapi dengan melaksanakan puasa tidak bisa melahirkan sifat-sifat di atas, maka bisa dikatakan puasa yang kita laksanakan tidak ada arti kerena tujuan ibadah puasa di perintahkan adalah agar kita semua bertakwa.

selama 29-30 hari (1 bulan) dalam setahun kita dididik oleh Allah untuk melaksanakan akhlak-akhlak tersebut dan diharapkan selama 11 bulan kedepan kita bisa menjaga untuk mempertahankan pelaksanaan akhlak-akhlak itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika akhlak ini bisa kita laksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari barulah kita bisa mencapai tujuan sebagimana yang diharpkan oleh Allah, yaitu TAKWA.

Akan tetapi jika kita tidak mendapat nilai-nilai akhlak itu setelah melaksankan ibadah puasa maka benarlah apa yang telah dikhawatir oleh Rasulullah dalam haditsnya, "Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan haus saja".

Sekarang kembali kepada kita semua sudah berapa lama kita melaksanakan ibadah puasa dalam hidup kita?, apakah sifat-sifat di atas sudah kita dapatkan dan sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari? hanya diri kita sendiri, sejauhmana khalitas puasa yang telah kita jalani. Jika belum mendapatkan apa-apa dari ibadah puasa yang telah kita jalani, belum terlambat, mari renungkan bersama dan memperbaiki diri kita agar bisa melaksanakan ibadah puasa ramadhan dengan lebih baik lagi agar kita semua bisa menjadi orang-orang bertakwa. amin.



Selamat menyambut bulan suci Ramadhan, semoga ramadhan kali ini dapat memberi makna dan perubahan yang berarti dalam kehidupan kita kedepan.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)